curhat

Unpredictable Route : Become a Banker?

“Some lives are lived without risk or ambition and some are lived as an adventure” – Ken Robinson

‘Saya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi’
‘Saya memiliki keinginan untuk mempelajari hal-hal baru’
‘Saya selalu berusaha mengambil nilai-nilai dari suatu peristiwa’
‘Saya mengatasi konflik dengan kompromi’
‘Saya kurang disiplin dan kurang gigih dalam mencapai sesuatu. Hal ini menyebabkan saya tidak banyak menorehkan prestasi semasa kuliah. Saya ingin menebusnya melalui dunia kerja’

Kira-kira itulah yang saya tulis ketika harus mengisi kuisioner untuk dikumpulkan ke HRD sebelum interview pekerjaan. Itu adalah interview pekerjaan terakhir saya setelah kurang lebih 6 bulan menjadi jobseeker. Melanglang buana sambil memikirkan, “Kenapa aku ga lolos ya? Aku ga pinter ya…? Kenapa aku dulu pas kuliah ga banyak-banyakin ikut lomba biar punya portofolio ya? Kenapa dulu aku ga magang di perusahaan A aja sih ya biar langsung tau kayak gimana kerjanya? Mungkin kesempatan diterimanya lebih besar? Kenapa aku ga lolos administrasi di sini ya? Aku cocoknya kerja apa sih?” dan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala karena puluhan lamaran sudah dilayangkan tapi tidak juga ada yang berhasil.

Berkali-kali juga mempertanyakan diri sendiri: keahlianku itu apa. Orangtua juga menanyakan mau kerja dimana dan jadi apa, berusaha membantu dengan menanyakan ke teman sejawatnya siapa tahu ada lowongan pekerjaan. Tapi sebagai anak, saya ga suka seperti itu. Paman-Bibi turut menanyakan juga, memberi informasi tentang dimana saja lowongan pekerjaan. Dulu saya sebal, tapi sekarang saya tahu, mereka peduli dan hanya itu yang bisa mereka lakukan: memberi referensi pekerjaan. Tapi waktu itu sebalnya bukan main, rasanya pengen ga ketemu aja, dalam hati pengen bilang: bisa ga sih diem aja? Aku juga tahu aku harus cari kerja. Wkwkwkwkwk tapi untung ga pernah keluar kata-kata itu. Maklum, namanya juga anak stress abis lulus kok ga kerja-kerja. Maaf budhe-pakdhe…

Saya sempat di cap terlalu idealis, karena terlalu pilih-pilih kerjaan. Ya. Dulu saya pilihnya semua yang berhubungan sama wartawan tulis/jurnalis, atau HRD, atau social media specialist. Tapi karena lama-lama mentok, akhirnya ke CPNS, kerja di BUMN apapun kayak Pertamina, Pegadaian, MT apapun wkwkwkw. Saking dodolnya ga punya portofolio nulis karena ga pernah ikut lomba tulis sama sekali tapi tetep pengen jadi wartawan. akhirnya yaudalah terserah kemana aja yang penting dapet kerjaan walaupun itu sebenernya takut nyoba juga. Saya betul-betul orang yang takuuuut banget untuk mencoba hal baru waktu itu. Mungkin kalo ga ada teman saya itu, yang maksa-maksa dan agak ngepush buat saya nyobain semua, ya saya ga bakal nyoba sih. Semangat saya waktu itu cuma gimana caranya supaya saya punya duit, bisa beli alat musik, bisa beli kamera, dan ga tinggal jauh dari teman saya itu. Kuliah S2? Hmm saya harus cari beasiswa, karena ortu saya ga ada biaya untuk itu, even saya S1 juga ga pakai uang orang tua.

Berpasrah Pada Arah

September 2018 saya lulus. Sempat ada channel untuk masuk ke salah satu perusahaan media, tapi ga ada kabar dan saya termasuk yang ga enak kalo nanyain terus. Oktober 2018, saya ditolak perusahaan yang “basah” lahannya sampai dibahas banget oleh keluarga karena ga diterimanya udah tinggal 1 tahap saja. November 2018, saya apply apapun perusahaan dan sempat nyangkut di perusahaan yang akhirnya menjadi tempat kerja saya sekarang ini. Desember 2018, tes online tapi selang beberapa minggu kemudian diinfokan bahwa sudah akhir tahun sehingga proses rekrutmen ditunda hingga tahun depan. Akhirnya saya magang di komunitas menulis tentang mental health. Saya menghabiskan waktu saya dengan ngiringin di gereja termasuk ngiringin misa harian pagi dan segala yang padus yang butuh organis pengangguran wkwkwk. Sempat pasrah dan terpikir : apa ngelesin organ aja. Tapi aku mah apa, ga punya sertipikat musik. Ga bisa banyak murid juga kayaknya di sini. Sempat apply jadi volunteer ke salah satu NGO di Jakarta juga karena saking hopeless-nya dan mikir kayaknya saya belum layak bekerja, bagaimana kalau saya magang lagi, tapi dibilang sama orangtua : lalu kamu mau makan apa dan tinggal dimana kalau kamu ke Jakarta dan ga dapat apa-apa? Mata mulai berair dan bulir air mata jatuh, nangis dan meratapi nasib, iya ya, aku bukan orang kaya, bukan saatnya melalangbuana ke kota orang tanpa membawa bekal. Jangan bodoh kamu, Hilda.

Seolah-olah semua masalah pasti aka nada jalannya, 4 Januari 2019 email dari perusahaan tempat saya bekerja sekarang masuk. Saya lolos tes SHL dan dapat “Undangan Interview”. Antara senang dan deg-deg-an bukan main. Setelah pusing-pusing karena mulai down, kerja apa ya…? emang aku sebodo itu ya…? keahlianku apa ya…? Mulai krisis dengan diri sendiri, mempertanyakan diri sendiri, 10 Januari 2019 akhirnya tiba dan di hari itulah saya interview HRD. Saya siapkan semua yang terbaik saja. Kalau memang ini jalannya, ya saya akan ke sana walaupun bingung juga ini nanti mau kemana. Waktu itu saya melamar jadi Marketing Communication bagian staf di perusahaan tempat saya bekerja ini. Tujuan saya berubah, dari pengen jadi jurnalis lalu menjadi apapun asalkan ke Jakarta, karena teman saya ke Jakarta; kerja apapun asal perusahaannya settle dan gajinya lumayan.

Dag-dig-dug menunggu. Lamaran saya di NGO juga sudah diberi tanggapan dan saya dipersilakan untuk ke Jakarta kalau sudah siap, namun saya dengan berat hati menginformasikan kalau tidak bisa memenuhi pengajuan saya sendiri (agak-agak gimana gitu yak). 25 Januari 2019 dapat email lagi dan undangan interview ke Jakarta tgl 29 Januari 2019. Wah, langsung lompat dan masih antara takut dan deg-deg-an dan senang karena takut terjadi yang tidak diingkan seperti melamar kerjaan yang sebelumnya. Udah jauh-jauh ke Jakarta juga soalnya waktu itu. Langsung beli tiket dan pergi dan interview user berjalan tapi masih gatau ini interview untuk bagian apa. Tapi sih ditanya-tanya soal social media dan dulu pernah magang dimana aja. Minder. Ya. Karena ga banyak pengalaman di sini. Deg-deg’an karena mau bilang ga berjalan lancar juga engga, tapi waktu itu yaudah pasrah aja sambal takut-takut kalau ga lolos gimana. Udah Januari…

Babak Penentuan

Saya lupa kelanjutan detailnya seperti apa. Saya cek email tidak ada historinya. Sepertinya selang beberapa hari, saya di telepon untuk undangan interview lagi pada tgl 7 Februari 2019. Jadi sudah sempat pulang ke Semarang, trus berangkat lagi. Di situ interview usernya agak bingung, karena, ini interview user kok lebih kayak sharing ya? Dan waktu itu interview dengan 2 kandidat lainnya. Jadi bingung rasanya. Kenalan juga dengan 2 orang kandidat tersebut, dan salah satunya adalah sahabat sendiri yang sampai sekarang sekantor bahkan sama-sama makhluk planet Bekasi wkwkwkw.

Pulang interview dengan bingung dan seribu tanya, karena kok setelah interview dengan user tersebut ditanya posisinya PAO atau PRO. Lah…… Bingung. Googling gini kerjanya gimana, AO itu apa, RO itu apa. Kok kredit? Kok Funding-Lending. Ini apa? Galau karena perasaan kemarin daftarnya Marketing Communication tapi kok jadi PAO/PRO? Mmmmmm….. Akhirnya saya sharing sama sahabat sejak SMA yang kebetulan masih di Depok dan kebetulan dia anak Manajemen UI, jadi mungkin ada gambaran mengenai dunia perbankan dan funding lending ini apa. Maklum, hidupnya selama ini dengan media, ga pernah ngurusin duit. Konsultasi enaknya diambil atau engga. Sahabat udah bilang, itu kerjanya marketing tapi kayaknya beda deh sama marcom. Lalu sempat tanya ke teman SMA yang ternyata juga PAO. Tanya pendidikannya gimana, kira-kira kerjanya gimana, gajinya berapa. Akhirnya pusing. Sambil kerja serabutan magang nulis di komunitas mental health dan ngerjain transkrip untuk tambahan uang saku. Galau modar lah. Sedangkan konsul ke temen, waktu itu dia bilang, “udah diambil aja. Kapan lagi? Udah kelamaan.” Ortu juga ya ga mungkin ga seneng lah anaknya kerja di perusahaan yang settle. Malah mungkin akan bertanya-tanya kalo ga ambil.

Sambil mikir dan galau, ehhh trus 15 Februari 2019 dapat undangan MCU. Wah, deg-deg-an. Trauma sama yang sebelumnya karena yang sebelumnya ga lolos di tahap MCU. Tapi pada akhirnya ya berusaha dan berdoa aja, kalo emang ini jalannya yauda lolos, kalau engga jalannya, yauda ga lolos. Trus tes, trus 28 Februari 2019 dapet email kalau lolos dan 6 Maret 2019 diundang buat tanda tangan kontrak. Wah. Wah. Wah. Galau guysssssssss.

“Jadi, kerja di bank nih?”
“Tapi ke Jakarta, ga LDR lagi”
“Tapi di perusahaan settle
“Tapi gajinya ga rendah-rendah amat lah”
“Tapi ini bukan marketing communication loh”
“Tapi ini kesempatan yang jarang, mau dilewatin gitu aja?”
 “Tapi ini bukan di bidang kamu”

Yakin?

Bersambung….

Standard

One thought on “Unpredictable Route : Become a Banker?

  1. Pingback: Become a Banker : Building Mental Toughness Before Welcoming New Life | Astratto

Leave a comment